Banyak orang awam dan berkantong tebal
salah dalam memilih lembaga pendidikan. Alih-alih mempertimbangkan
kebersihan akidah dan keluhuran akhlak bagi anak-anaknya, mereka hanya
berorientasi pada keberhasilan di dunia. Alhasil, mereka hanya memilih
sekolah favorit yang ternama dan bergengsi walaupun harus mengeluarkan
biaya yang sangat besar. Sekolah mahal dipakai sebagai alat pengangkat
prestise orangtua, sekadar alat untuk menunjukkan bahwa orangtua mampu
menyekolahkan anak di sekolah pilihan orang kaya. Bila sudah begini,
janganlah terlalu berharap memiliki anak shalih.
Berikut beberapa contoh kesalahan orang tua dalam memberikan pendidikan buat anak-anaknya:
1. Salah Tujuan
Seringkali orangtua menyekolahkan anak karena malu pada tetangga bila anaknya bodoh atau kalah kecerdasannya, atau khawatir kelak anaknya tidak mendapat pekerjaaan yang layak. Atau, si orangtua hanya ingin agar anaknya nanti menjadi pengawai negeri dan pejabat tinggi yang banyak harta dan hidup mapan. Padahal, orangtua haruslah berangkat dari niat menjalankan perintah Allah, yaitu memenuhi kewajiban hamba sebagai orangtua yang memang dituntut untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang bertakwa dan shalih, yang menjadi simpanan abadi di akhirat kelak.
Seringkali orangtua menyekolahkan anak karena malu pada tetangga bila anaknya bodoh atau kalah kecerdasannya, atau khawatir kelak anaknya tidak mendapat pekerjaaan yang layak. Atau, si orangtua hanya ingin agar anaknya nanti menjadi pengawai negeri dan pejabat tinggi yang banyak harta dan hidup mapan. Padahal, orangtua haruslah berangkat dari niat menjalankan perintah Allah, yaitu memenuhi kewajiban hamba sebagai orangtua yang memang dituntut untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang bertakwa dan shalih, yang menjadi simpanan abadi di akhirat kelak.
Sayangnya, saat ini justru sekolah yang
melulu berorientasi pada keberhasilan dunialah yang menjadi prioritas
banyak orang awam. Mereka tak memperhatikan apakah terjadi ikhtilat atau
tidak. Sehingga kemaksiatan mudah tercipta di sekolah tersebut, karena
landasan agama dicampakkan, sementara dunia menjadi tujuan. Lihatlah, di
sekolah-sekolah yang ikhtilat, banyak terjadi kasus zina melalui budaya
pacaran, pergaulan bebas, dan asmara buta sehingga kekejian merebak dan
perzinahan merajalela.
2. Salah Sekolahan
Bisa jadi orangtua sudah benar dalam niat, tapi karena ilmu agamanya yang minim, ia salah mencarikan lembaga pendidikan bagi anak-anaknya. Misalnya, ia ingin anaknya paham ilmu agama, maka ia main masukkan saja anaknya ke sekolah agama seperti madrasah atau pesantren, tanpa peduli apakah pesantren itu penuh bid’ah atau tidak, dan apakah akidah dan akhlak para santri benar-benar terkontrol.
Bisa jadi orangtua sudah benar dalam niat, tapi karena ilmu agamanya yang minim, ia salah mencarikan lembaga pendidikan bagi anak-anaknya. Misalnya, ia ingin anaknya paham ilmu agama, maka ia main masukkan saja anaknya ke sekolah agama seperti madrasah atau pesantren, tanpa peduli apakah pesantren itu penuh bid’ah atau tidak, dan apakah akidah dan akhlak para santri benar-benar terkontrol.
Harus diakui, saat ini masih ada sekolah
Islam yang di situ bercampur-baur antara pelajar laki-laki dengan
perempuan, atau kurang memperhatikan sistem pengajarannya, sehingga
bercampur antara pelajaran yang syar’i dan bid’ah, bahkan antara ajaran
Islam dan ajaran kafir. Alhasil, pemahaman dan efek buruklah yang
diterima sang anak. Kelak, ia pun secara sistematis akan tumbuh menjadi
generasi dengan pemahaman dan pengamalan Islam yang menyimpang dari
syariat Islam.
3. Salah Teladan
Sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas, keteladan memiliki pengaruh kuat dalam proses pendidikan anak. Perilaku orangtua maupun guru berdampak kuat bagi pembentukan kematangan pribadi sang anak. Teladan yang salah akan membuat anak terdidik di atas kebiasaan buruk dan perilaku negatif. Karena itu, orangtua harus memilih pendidik yang menjunjung tinggi nilai-nilai akidah dan moral, serta memiliki kelebihan ilmu dan amal dibanding murid-muridnya.
Sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas, keteladan memiliki pengaruh kuat dalam proses pendidikan anak. Perilaku orangtua maupun guru berdampak kuat bagi pembentukan kematangan pribadi sang anak. Teladan yang salah akan membuat anak terdidik di atas kebiasaan buruk dan perilaku negatif. Karena itu, orangtua harus memilih pendidik yang menjunjung tinggi nilai-nilai akidah dan moral, serta memiliki kelebihan ilmu dan amal dibanding murid-muridnya.
4. Salah Metode Pendidikan
Bisa saja pelajaran yang diberikan kepada sang anak sudah baik, tapi cara penyampaiannya yang tidak tepat, sehingga tujuan dan target pendidikan tidak tercapai, atau anak didik menjadi gagal. Mendisiplinkan anak-anak dengan sanksi kekerasan fisik, misalnya, hanya membentuk anak berwatak keras. Sebaliknya, memberi toleransi yang berlebihan akan membuat anak semakin manja. Anak yang selalu diluluskan permintaan materinya akan tumbuh menjadi anak yang cinta dunia, sementara anak yang biasa diabaikan permintaannya, bisa punya kebiasaan mencuri. Di sekolah, anak hanya dicecar dengan hafalan, tapi kurang diajak memahami suatu permasalahan.
Bisa saja pelajaran yang diberikan kepada sang anak sudah baik, tapi cara penyampaiannya yang tidak tepat, sehingga tujuan dan target pendidikan tidak tercapai, atau anak didik menjadi gagal. Mendisiplinkan anak-anak dengan sanksi kekerasan fisik, misalnya, hanya membentuk anak berwatak keras. Sebaliknya, memberi toleransi yang berlebihan akan membuat anak semakin manja. Anak yang selalu diluluskan permintaan materinya akan tumbuh menjadi anak yang cinta dunia, sementara anak yang biasa diabaikan permintaannya, bisa punya kebiasaan mencuri. Di sekolah, anak hanya dicecar dengan hafalan, tapi kurang diajak memahami suatu permasalahan.
5. Motivasi yang Kurang Tepat
Kesalahan orangtua atau guru dalam memberi motivasi kepada anak didiknya bisa memberi dampak yang kurang baik. Misalnya, mendoromg anak berprestasi dengan hadiah yang menggiurkan, atau memotivasi anak berprestasi agar tidak tersaingi oleh teman-temannya, atau memotivasi anak agar bangga dengan prestasi yang telah dicapainya. Motivasi yang demikian itu akan merusak watak dan pribadi anak, karena anak terdorong bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu bukan karena Allah, melainkan karena ingin berprestasi dan mendapat hadiah yang menggiurkan. Parahnya lagi, hanya untuk mengejar hadiah yang dijanjikan, si anak bisa saja menghalalkan segala cara, dengan mencontek atau berbuat curang lainnya, yang penting hadiah didapat.
Kesalahan orangtua atau guru dalam memberi motivasi kepada anak didiknya bisa memberi dampak yang kurang baik. Misalnya, mendoromg anak berprestasi dengan hadiah yang menggiurkan, atau memotivasi anak berprestasi agar tidak tersaingi oleh teman-temannya, atau memotivasi anak agar bangga dengan prestasi yang telah dicapainya. Motivasi yang demikian itu akan merusak watak dan pribadi anak, karena anak terdorong bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu bukan karena Allah, melainkan karena ingin berprestasi dan mendapat hadiah yang menggiurkan. Parahnya lagi, hanya untuk mengejar hadiah yang dijanjikan, si anak bisa saja menghalalkan segala cara, dengan mencontek atau berbuat curang lainnya, yang penting hadiah didapat.
Alhasil, bila dia tidak bisa
berprestasi, maka dia akan menjadi orang yang frustasi dan malas
belajar, sedangkan pada anak yang didorong agar tidak tersaingi oleh
teman-temannya akan timbul sifat angkuh, sombong dan egois. Dan anak
yang dimotivasi agar bangga dengan prestasi yang dicapainya, tumbuh
menjadi anak yang tidak pandai bersyukur kepada Allah; ia hanya
bersemangat menuntut ilmu, tapi kehilangan kendali bila gagal.
6. Membatasi Kreativitas Anak
Ada sebagian orangtua yang membatasi, memaksa dan selalu menentukan kreativitas anak. Ini akan mengekang bakat anak, membuat anak kurang percaya diri, tidak pandai bergaul, dan cenderung memisahkan diri dari teman-temannya. Seharusnya orangtua mengarahkan, membimbing, mendorong dan memberi fasilitas agar anak mengembangkan kreativitasnya sepanjang kreativitas itu tidak melanggar syariat, tidak merugikan dan mengganggu orang lain, dan bermanfaat untuk diri maupun agamanya. Anak yang merasa didukung kreativitasnya akan tumbuh dengan kepala yang penuh ide cemerlang dan menjadi orang yang bertanggung jawab, sekaligus menjadi anak yang bangga dengan orang-tuanya.
Ada sebagian orangtua yang membatasi, memaksa dan selalu menentukan kreativitas anak. Ini akan mengekang bakat anak, membuat anak kurang percaya diri, tidak pandai bergaul, dan cenderung memisahkan diri dari teman-temannya. Seharusnya orangtua mengarahkan, membimbing, mendorong dan memberi fasilitas agar anak mengembangkan kreativitasnya sepanjang kreativitas itu tidak melanggar syariat, tidak merugikan dan mengganggu orang lain, dan bermanfaat untuk diri maupun agamanya. Anak yang merasa didukung kreativitasnya akan tumbuh dengan kepala yang penuh ide cemerlang dan menjadi orang yang bertanggung jawab, sekaligus menjadi anak yang bangga dengan orang-tuanya.
7. Membatasi Pergaulan
Kadang, karena tidak ingin anak terpengaruh oleh perilaku buruk teman bergaulnya, orangtua bertindak sangat protektif terhadap anaknya. Bahkan, anak tak boleh “nimbrung” jika orang tuanya sedang menerima tamu. Atau, anak hanya diperbolehkan bergaul dengan teman-teman tertentu yang belum tentu shalih, tapi justru dilarang mendekati temannya yang shalih, paham As-Sunnah dan rajin beribadah.
Kadang, karena tidak ingin anak terpengaruh oleh perilaku buruk teman bergaulnya, orangtua bertindak sangat protektif terhadap anaknya. Bahkan, anak tak boleh “nimbrung” jika orang tuanya sedang menerima tamu. Atau, anak hanya diperbolehkan bergaul dengan teman-teman tertentu yang belum tentu shalih, tapi justru dilarang mendekati temannya yang shalih, paham As-Sunnah dan rajin beribadah.
Sikap orangtua seperti di atas membuat
anak menjadi pemalu dan tidak pandai bergaul, atau akan membuat anak
mudah merendahkan orang lain yang dianggap tidak selevel dengannya.
Orangtua bijaksana akan mengawasi
pergaulan anak-anaknya, tanpa terlalu membatasi tapi juga tidak
membiarkan anak bergaul bebas. Orangtua harus selalu mengingatkan dan
memantau agar anak bergaul dengan orang-orang shalih, yang paham
As-Sunnah, rajin beribadah dan berakhlak mulia serta teman-teman yang
bisa memotivasinya menjadi orang yang bermanfaat untuk diri, agama,
orang tua dan orang di sekitarnya.
8. Tidak Disiplin dan Kurang Tertib
Ketidakdisiplinan dan kurang tertibnya orang tua dalam mendidik anak akan membuat anak juga tidak disiplin dan tertib dalam menjalani hidupnya. Orangtua dan para pendidik harus menanamkan hidup disiplin dan tertib sejak usia dini sehingga anak terbiasa hidup disiplin dan tertib dalam menunaikan tugas-tugas harian, terutama yang terkait dengan kewajiban agama dan ibadah kepada Allah, tugas rumah dan tugas sekolahan. Anak harus dilatih untuk membiasakan shalat fardhu tepat waktu dan berjemaah di masjid (bagi anak laki-laki), melatih diri untuk berpuasa, serta menaati perintah orangtua dalam kebaikan, bukan dalam kemaksiatan.
Ketidakdisiplinan dan kurang tertibnya orang tua dalam mendidik anak akan membuat anak juga tidak disiplin dan tertib dalam menjalani hidupnya. Orangtua dan para pendidik harus menanamkan hidup disiplin dan tertib sejak usia dini sehingga anak terbiasa hidup disiplin dan tertib dalam menunaikan tugas-tugas harian, terutama yang terkait dengan kewajiban agama dan ibadah kepada Allah, tugas rumah dan tugas sekolahan. Anak harus dilatih untuk membiasakan shalat fardhu tepat waktu dan berjemaah di masjid (bagi anak laki-laki), melatih diri untuk berpuasa, serta menaati perintah orangtua dalam kebaikan, bukan dalam kemaksiatan.
Setiap orangtua atau pendidik hendaknya
membuatkan jadwal rutin harian, yang berkaitan dengan ibadah, tugas
harian maupun tugas sekolah, dan orangtua harus senantiasa mengontrol
dan mengawasinya jangan sampai ada yang terlewatkan.
9. Hanya Pendidikan Formal
Sebagian orangtua sudah merasa cukup mendidik anak bila sudah memberi mereka pendidikan formal atau kursus bimbingan belajar. Padahal, kebanyakan lembaga tersebut mengajarkan ilmu keduniaan saja, tanpa memedulikan kebutuhan prinsipil seperti pendidikan akidah, pembinaan akhlak dan pendidikan yang berbasis pada kemandirian. Alhasil, lulus dari pendidikan formal, anak tidak bisa menghadapi realitas dan persaingan hidup. Sebab, kebutuhan ilmu sang anak tidak dapat dipenuhi hanya melalui madrasah saja.
Sebagian orangtua sudah merasa cukup mendidik anak bila sudah memberi mereka pendidikan formal atau kursus bimbingan belajar. Padahal, kebanyakan lembaga tersebut mengajarkan ilmu keduniaan saja, tanpa memedulikan kebutuhan prinsipil seperti pendidikan akidah, pembinaan akhlak dan pendidikan yang berbasis pada kemandirian. Alhasil, lulus dari pendidikan formal, anak tidak bisa menghadapi realitas dan persaingan hidup. Sebab, kebutuhan ilmu sang anak tidak dapat dipenuhi hanya melalui madrasah saja.
Dengan kata lain, setiap anak harus
membekali dirinya dengan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan
realitas hidup, perkembangan teknologi, bisnis, informasi, komunikasi,
situasi terkini, dunia tumbuhan dan binatang. Dan untuk itu, orangtua
haruslah aktif dan selektif dalam memilihkan bacaan, yaitu memilihkan
bacaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Karenanya, pendidikan non formal, terutama pendidikan agama mutlak
diperlukan, karena dengan pendidikan inilah si anak akan dapat
menyaring, mana ilmu teknologi, bisnis, komunikasi, dan segala hal yang
bermanfaat atau justru berpotensi merusak akidah maupun akhlak
seseorang.
10. Kurang Mengenalkan Tanggung Jawab
Orangtua harus menumbuhkan kesadaran dan rasa tanggung jawab yang tinggi pada anak-anaknya akan tugas dan kewajiban mereka, baik yang terkait dengan urusan agama maupun dunia. Masing-masing harus merasa bahwa tugas sekecil apa pun merupakan amanah yang harus diemban dan beban tanggung jawab yang harus dipikul sepenuh kemampuan. Anak harus dilatih untuk lebih dahulu menunaikan kewajiban dari pada menuntut haknya baik hubungannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun kepada sesama manusia terutama kepada orangtua, sanak-kerabat dan teman-temannya.
Orangtua harus menumbuhkan kesadaran dan rasa tanggung jawab yang tinggi pada anak-anaknya akan tugas dan kewajiban mereka, baik yang terkait dengan urusan agama maupun dunia. Masing-masing harus merasa bahwa tugas sekecil apa pun merupakan amanah yang harus diemban dan beban tanggung jawab yang harus dipikul sepenuh kemampuan. Anak harus dilatih untuk lebih dahulu menunaikan kewajiban dari pada menuntut haknya baik hubungannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun kepada sesama manusia terutama kepada orangtua, sanak-kerabat dan teman-temannya.
Orangtua harus mengenalkan kepada
anak-anaknya tanggung jawab kepada agama, diri, dan lingkungannya.
Bahkan anak harus dikenalkan pada kewajiban zakat, infak dan sedekah,
menyantuni anak yatim dan fakir-miskin agar tumbuh rasa tanggung jawab
dan sensitivitasnya pada agama dan lingkungan, baik lingkungan rumah
maupun sekolah.
11. Khawatir yang Berlebihan
Perasaan takut terhadap keselamatan dan rasa khawatir terhadap masa depan anak merupakan sifat yang wajar ada pada setiap orangtua. Namun, perasaan itu akan berubah menjadi bahaya bila berlebihan dan berubah menjadi was-was akan keselamatan anaknya, bersikap bakhil karena takut beban biaya hidup anaknya tidak terpenuhi, dan mencintai anak secara berlebihan.
Perasaan takut terhadap keselamatan dan rasa khawatir terhadap masa depan anak merupakan sifat yang wajar ada pada setiap orangtua. Namun, perasaan itu akan berubah menjadi bahaya bila berlebihan dan berubah menjadi was-was akan keselamatan anaknya, bersikap bakhil karena takut beban biaya hidup anaknya tidak terpenuhi, dan mencintai anak secara berlebihan.
Ketakutan seperti itu hanya
akan membuat hidup terbebani, tidak percaya dengan takdir, dan
mengurangi ketawakalannya kepada Allah. Yang ada nanti hanya perasaan
tidak tenang dan khawatir terhadap nasib anaknya. Inilah yang kadang
membuat orangtua tidak tega saat melepas anaknya menempuh pendidikan
boarding school (pondok) di pesantren. Padahal, setiap orangtua harus
menyadari bahwa suatu saat nanti anak akan berpisah dengannya, baik
untuk mencari ilmu atau mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarganya
setelah menikah kelak.
12. Kurang Sabar dalam Menerima Hasil
Bisa jadi orangtua sudah punya target-target tertentu atas pendidikan anaknya, atau boleh jadi orangtua telah mendidik anaknya untuk mengganti jabatannya atau memegang perusahaannya setelah dia meninggal. Namun, ternyata sang anak mengecewakannya. Bukan karena ia nakal dan membangkang, melainkan karena bakat sang anak tidak sejalan dengan keinginan dan harapan orangtuanya. Akhirnya, kita dengar orang tua mencerca anaknya, “Tinggal belajar saja kok tidak bisa. Makanya, belajar yang betul!”
Bisa jadi orangtua sudah punya target-target tertentu atas pendidikan anaknya, atau boleh jadi orangtua telah mendidik anaknya untuk mengganti jabatannya atau memegang perusahaannya setelah dia meninggal. Namun, ternyata sang anak mengecewakannya. Bukan karena ia nakal dan membangkang, melainkan karena bakat sang anak tidak sejalan dengan keinginan dan harapan orangtuanya. Akhirnya, kita dengar orang tua mencerca anaknya, “Tinggal belajar saja kok tidak bisa. Makanya, belajar yang betul!”
Padahal, kita semua sadar bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala mengaruniakan kecerdasan dan kemampuan yang berbeda
kepada setiap hamba-Nya. Seharusnya orang tua bersikap bijak. Kewajiban
orangtua hanyalah berusaha semaksimal mungkin mengarahkan dan membina
anak-anaknya, sedangkan hasilnya, Allah Maha Adil dan Maha Tahu apa yang
tetbaik bagi hamba-Nya. Jadi, kenapa orangtua harus kecewa dengan hasil
yang tidak sesuai keinginannya? Bukankah lebih baik mengutamakan
kesabaran dan keistikomahan dalam mendidik dan mengarahkan anak,
daripada terpaku pada hasil akhirnya?
13. Curiga Berlebihan
Orang tua harus bersikap terbuka dan memberi kepercayaan kepada anak. Sikap ini akan memperlancar komunikasi dan interaksi dengan anak maupun anggota keluarga yang lain. Keterbukaan dan kepercayaan juga akan membuat anak mencintai orangtuanya secara tulus dan memandang penuh hormat dan kasih pada keduanya. Sebaliknya, bila orang tua mudah menuduh tanpa bukti, mencurigai setiap gerak-gerik anak tanpa alasan dan menganggap anak berkhianat kepada orangtuanya, perasaan anak akan tercabik-cabik, kekecewaan tumbuh, dan kemarahan anak kepada orangtua akan tersulut. Apalagi bila anak merasa apa yang dituduhkan kepadanya tidak benar.
Orang tua harus bersikap terbuka dan memberi kepercayaan kepada anak. Sikap ini akan memperlancar komunikasi dan interaksi dengan anak maupun anggota keluarga yang lain. Keterbukaan dan kepercayaan juga akan membuat anak mencintai orangtuanya secara tulus dan memandang penuh hormat dan kasih pada keduanya. Sebaliknya, bila orang tua mudah menuduh tanpa bukti, mencurigai setiap gerak-gerik anak tanpa alasan dan menganggap anak berkhianat kepada orangtuanya, perasaan anak akan tercabik-cabik, kekecewaan tumbuh, dan kemarahan anak kepada orangtua akan tersulut. Apalagi bila anak merasa apa yang dituduhkan kepadanya tidak benar.
Oleh karena itu, orang tua harus
berhati-hati dalam menilai anak-anaknya. Jangan mudah curiga dan menuduh
anak dengan sesuatu tanpa alasan dan bukti hanya karena kurang cinta
atau cemburu. Orang tua juga tidak boleh meremehkan kemampuan dan
kelebihan anak dengan menganggapnya masih terlalu kecil.
Di pihak lain, sang anak pun tak boleh
mudah memvonis orangtuanya tidak sayang dan membencinya. Seharusnya
seorang anak bersabar menghadapi sikap orang tua yang kurang berkenan
dan sebaiknya mencari informasi yang sebenarnya kenapa orangtuanya
bersikap demikian, dan menghilangkan dendam kepada orangtua karena
sikapnya tersebut. Sebab, dendam yang dibiarkan bisa memutus hubungan
silaturahim. Maka, pupuklah sikap saling percaya, tumbuhkan empati, dan
sikap terbuka dalam menghadapi setiap masalah.
14. Menjauhkan Anak dari Orang Shalih
Kalau tidak bergaul dengan ulama atau orang shalih, pasti kita akan bergaul dengan orang-orang bodoh dan ahli maksiat. Kedekatan dengan para ulama dan orang shalih akan memotivasi anak untuk cinta pada kebaikan, amal shalih, dan lingkungan yang bagus. Siapa yang berkumpul dengan orang-orang baik atau hidup di lingkungan yang baik, akan tertular kebaikannya. Dan siapa yang berkumpul dengan orang-orang buruk atau hidup di lingkungan yang buruk, akan pula terkena getah keburukannya.
Kalau tidak bergaul dengan ulama atau orang shalih, pasti kita akan bergaul dengan orang-orang bodoh dan ahli maksiat. Kedekatan dengan para ulama dan orang shalih akan memotivasi anak untuk cinta pada kebaikan, amal shalih, dan lingkungan yang bagus. Siapa yang berkumpul dengan orang-orang baik atau hidup di lingkungan yang baik, akan tertular kebaikannya. Dan siapa yang berkumpul dengan orang-orang buruk atau hidup di lingkungan yang buruk, akan pula terkena getah keburukannya.
Wahai anak shalih yang mendambakan
surga, jangan biarkan dirimu bergaul dengan orang buruk berhati
serigala, orang munafik, orang fasik dan ahli bid’ah perusak agama.
Ingat, orang yang baik akan dikumpulkan bersama orang baik dan orang
yang buruk akan berkumpul dengan orang yang buruk. Dan pada Hari Kiamat
kelak, seseorang dikumpulkan bersama orang yang dicintainya.
Dari buku:Judul: “Untukmu Anak Shalih”